SAGA That Was My Story

Don't trust too much, don't love too much, don't hope too much. because too much can hurt you so much

SAGA You Will Never Feel Alone

Mengampuni mereka yang menyakitimu. Lupakan mereka yang meninggalkanmu

Al-Azhar

ابطل الله عادة التبني على يد سيدنا رسول الله، لا مشرعا ينقل حكم الله فحسب، ولكن مطبقا يطبق حكم الله في ذاته وفي نفسه حتى يأخذ الحكم قداسته

Angkatan XV

When one thing ends, another thing begins

Friends

I'm glad I met you, I hope you know that.

Monday, November 5, 2012

Gara – gara Lima Belas Menit

     
       Nuansa malam yang pekat dan udara yang panas di kediaman rekan saya daerah kelapa dua depok membuat saya tidak dapat memejamkan mata kala itu. Bersama ketiga rekan saya yang usai melaksanakan tes seleksi masuk universitas Al-Azhar kami mebicarakan banyak hal malam itu, termasuk agenda liburan panjang setelah menempuh Ujian Nasional dan resmi melepas seragam abu abu.


    Setelah melakukan pembicaraan panjang dengan rekan rekan, akhirnya kami memutuskan untuk menaklukan gunung tertinggi ke-dua di pulau jawa. Gunung Slamet, entah apa yang ada di benak saya kala itu yang tiba tiba saja memilih gunung tersebut, padahal masih ada puluhan gunung di negeri ini. Dan mitos mitos yang kami dengar tentang gunung tersebut menciptakan aura tersendiri di dada masing masing. Membuat rencana ini semakin gila saja. Ini adalah gunung ke-empat yang kami daki. Pembicaraan ditutup kemudian disepakati tanggal 8-9 juni 2012 adalah waktu pendakian. Ekspedisi ini akan sangat menantang dan saya sangat menanti waktu itu tiba.

Jumat, 8 juni 2012
    Pagi ini saya sedang sibuk mengemasi barang barang sambil menunggu kedatangan dua rekan saya yang dalam perjalanan menuju pondok tercinta, kami memilih tempat ini untuk berkumpul. Tiga  buah carrier dan satu buah tas backpacker telah saya siapkan, semua perlengkapan pendakian yang kami miliki dikumpulkan, termasuk senjata tajam dan peledak ringan untuk berjaga dari Hewan Buas dan Badai.

    Oya, mungkin kalian pernah mendengar cerita tentang hewan hewan buas yang menghuni gunung Slamet, cukup berbahaya. Tapi pernahkah kalian mendengar cerita tentang badai dahsyat yang terjadi setiap 4 tahun sekali disana? Sedikit saja bercerita, sebenarnya badai ini tidak pernah bisa diprediksi kapan munculnya, setelah kejadian 4 tahun silam yang memakan 10 orang korban ulah badai tersebut membuat kami siaga akan segala kemungkinan yang akan terjadi. Menurut penduduk sekitar, 10 orang tersebut ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan, dengan suhu hampir dibawah 9 derajat celcius membuat para korban beku dalam posisi yang memprihatinkan. Cuaca yang buruk dengan jarak pandang tidak lebih dari dua meter ditambah kemiringan medan hampir empat puluh lima derajat membuat para relawan kesulitan dalam mengevakuasi para korban, ditambah kerasnya tiupan angin yang katanya sanggup menghempas batu batu sebesar kepalan tangan semakin merepotkan para relawan, asal kalian tau saja, para relawan menggunakan jaket tebal berlapis lapis dan helm demi keamanan, bahkan mereka mengikat tubuh satu sama lain dengan tambang agar tidak terpisah karena tertutup kabut tebal. Mengerikan sekali bukan ?  bisa kalian bayangkan sendiri seperti apa situasi saat itu. Percaya atau tidak itu bebas, yang jelas cerita ini saya dengar langsung dari salah satu relawan yang ikut mengevakuasi kala itu. Dan cerita ini menjadi salah satu faktor yang membuat kami selalu siaga dan  semakin menambah suasana mencekam dalam perjalanan nanti.
    Dua rekan saya yang lain tiba, akhirnya anggota telah lengkap dan siap.

                                                               * * * * *

    Dua hari sebelum keberangkatan saya telah memesan 4 buah tiket kereta jurusan Cirebon - Purwokerto, angka sepuluh tertulis jelas di tiket tersebut, itu artinya kereta akan melaju tepat pukul sepuluh. Namun ada sedikit masalah yang merusak susana saya pagi itu, dan dari sinilah cerita itu dimulai...

    Jarum jam menunjukan tepat pukul sembilan, sedangkan kami masih duduk manis menunggu  barang yang kami pinjam dari salah satu rekan saya.barang ini terlalu penting untuk ditinggalkan. Kalian tau ? perjalanan dari pondok kami ke stasiun terdekat bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Saya semakin geram saja ketika orang yang ditunggu tak kunjung tiba, hingga akhirnya saya memutuskan untuk menjemput pinjaman barang tersebut. Jarak dari pondok ke rumah rekan sekitar 10km, membuat waktu semakin menipis. Dengan pinjaman motor dari security pondok saya ‘geber’ menuju rumah rekan saya. Ternyata rekan saya tertidur karena begadang semalam dan memohon maaf karena telah membuat kami menunggu, padahal awalnya dia menjanjikan akan diantar pukul tujuh pagi. Jadi berapa lama tuh kita nunggu ? itung aja sendiri yaaa haha

Satu masalah terlewatkan, tapi masalah lain menunggu..
    Karena takut tertinggal kereta, setelah semua siap kami berlari dari gerbang pondok menuju jalan raya, dengan menggendong carrier yang hampir 15 kg beratnya, meskipun nafas telah menderu dan keringat mengucur, kami paksakan kaki untuk tetap berlari. Kalian tau kan jarak dari gerbang ke bawah seberapa jauh ? nah bayangin aja muka kita kaya gimana pas lagi lari hahaha. Akhirnya kami naik kendaraan umum, melihat jam sudah menunjukan angka 9 lewat 30. Itu artinya kereta akan melaju 30 menit lagi. Aku berpikir cepat, kemudian memutuskan untuk membayar lebih agar kami diantar langsung ke stasiun dengan kecepatan penuh, karena tidak ada kendaraan yang langsung menuju stasiun, semua berhenti di terminal. Kemudian saya memulai negosiasi..
“Bang, empat orang ke stasiun gocap ya ?”
“Stasiun perujakan apa stasiun lama dek ?”
“Stasiun lama bang..”
“Tambah gocap lagi laaaah.. “
“Ogah bang, ini udah pas duitnya, mau ga? Ngejer kereta nih bang..”
“Yaudah de, gocap deal. Emang jam berapa keretanya?”
“Jam sepuluh bang, 30 menit lagi nih, ke kejer gak ya ?”
“Buset, 30 menit ya? Okelah biar abang kebutin..”

    Aku tersenyum riang dan mengangkat jempol kearah rekan rekan yang duduk di kursi belakang.
Oya, kalian belum tahu siapa saja ke-tiga rekan saya itu. Baiklah, simak baik baik..
    Yang pertama adalah jebolan pondok kami, dia hanya belajar dipondok sampai kelas sepuluh saja, karena melanjutkan studinya ke Cairo. Rambutnya keriting dan tampangnya selalu ngajak ribut hahahaha, sebut saja Obi. Selanjutnya, rekan yang satu ini sering dipanggil kakek tua, kolot atau apalah itu. Mungkin karena dia paling tua diantara kami dan memang dia bermuka ke-bapa bapa-an, eh ke-kake kake-an yang benermah atau si muka taun 70-an hahaha, namanya Puguh. Kemudian yang terakhir, orang ini memiliki alis yang unik, teman teman menyebutnya alis nge-punk.
Tentu saja karena alisnya tegak berdiri menantang langit hahaha, dia memiliki pemikiran yang lebih terdepan dalam masalah rumah tangga dibanding kami dan sangat ter-obsesi dengan nikah muda hahahahaha panggil saja Azmi.

Baiklah kita lanjutkan ceritanya..
    Benar benar sopir yang gila, akhirnya setelah meliuk liuk dijalan raya dengan gila dan berkali kali hampir menabrak kendaraan lain kami pun tiba pukul sepuluh lewat lima menit, itu artinya kami hanya memakan waktu 35 menit untuk menuju stasiun. Kalian tau kan jauhnya dari pondok ke stasiun ? hahaha. Bayangin aja kaya gimana laju mobilnya yg 35 menit sampai di stasiun.Cukup gila.

    Setelah membayar ongkos kami langsung menurunkan barang barang dan segera berlari menuju loket penjagaan yang kemudian langsung disambut penjaga
 “ mari dek, silahkan..boleh liat tiketnya..”
Kami sontak mengeluarkan tiket dan menyerahkannya “ ini pak”..
Tiba tiba penjaga mengerutkan dahi  “yah dek, keretanya barusaaaan aja pergi, maaf yaah”.
 “Terus gimana dong pak? Bisa diundur ga?” Tanyaku kesal.
 “Ya ga bisa atuh dek, kalo mau adek pesen lagi” ujarnya.Mulutku langsung mengeluarkan makian makian kesal, aku mengutuk keterlambatan ini. Bayangkan, setelah emosi menunggu barang pinjaman yang telat tadi, kemudian rela mengeluarkan uang lebih demi bersegara menuju stasiun, setelah berpanik panik ria dijalanan menanti tiba di stasiun, ternyata kami tetap tertinggal kereta. Dan tentu saja ini membuat saya emosi. Padahal kami hanya telat lima menit. Dan kala itu kami merasakan betul betapa pentingnya tepat waktu.

    Akhirnya saya coba memesan tiket baru keberangkatan satu jam kemudian, tapi urung karena harganya lima kali lipat lebih mahal dibanding tiket yang kami pesan sebelumnya. Saya semakin menggila saja. Saya yang memimpin ekspedisi ini, yang merencanakan jalannya pendakian ini yang seharusnya semangat memimpin rekan rekan malah duduk lemas di lantai stasiun, pasrah.

    “Nyantai aja mus, gausah emosi, jadi gaenak diliat mukanya hehehe” ujar Azmi sambil menepuk bahuku.Aku hanya mebalas anggukan lemas. Obi dan Puguh sibuk memikirkan rencana lain, mereka bertanya tanya ke penjaga loket kendaraan apa lagi yang bisa kami tumpangi menuju Purwekerto.

     “Kata penjaganya naek bis aja, ada yang langsung ke Purwokerto” teriak puguh sambil berlari kearah kami. “emang berapa bayarnya guh?” ujar azmi. “ katanya sih Cuma 30 rebu” potong Obi sebelum Puguh sempat menjawab. “yaudah lanjutalah, ayo mus daripada gak sama sekali 30 rebu gapapalah” sahut Azmi sambil berusaha menenangkanku yang masih emosi. Yang ditanya hanya mengangguk lemas, sudah pasrah dengan kondisi seperti ini.

    Kemudian kami ‘nyarter’ angkot menuju terminal, berbalik arah.
“mungkin gara gara kita belum jumatan kali ya jadi sial gini”kata azmi yang memecah keheningan dalam angkot.
“iya nih kita disuruh jumatan dulu kali ya” sahut puguh sambil nyengir coba mencairkan susana. ”kitakan safar, dodoool” jawabku sewot. Azmi dan puguh tidak melanjutkan pembicaraan. Si Obi hanya diam termenung, entah apa yang dia pikirkan saat itu sehingga tidak peduli dengan percakapan kami.

    Lima belas menit berlalu, kami tiba di terminal. Suasana yang ramai, sesak dan kumuh membuatku semakin muak. Baru saja kami keluar melangkah dari angkot langsung diserbu para kondektur angkutan umum, “grage mas grage”           “ mau kemana mas?” “hayu dek babakan babakan, kuningan kuningan” dan banyak lagi teriakan teriakan entahlah apa itu yang mebuat hari ini semakin sesak saja. Pasti kalian tau rasanya seperti apa terus menerus ditanyai tujuannya kemana, atau bahkan ngotot maksa agar kita masuk kendaraannya. Menyebalkan.

    Kami melangkah tak peduli mengacuhkan para kondektur yang terus membuntuti dan kami mulai mencari bis yang bertulisakn purwokerto. Beruntung, bis tersebut tidak susah ditemukan, dia terparkir manis dipinggir trotoar. Kami mendekati bis dan lanngsung disambut si sopir,
 “purwokerto mas ?”,
 “iya pak, tigapuluh ya !” timpalku.
“waduh mas, tigapuluh mah belum dapet buat bensinnya juga” keluh si sopir.
 “ yaudah mau gak nih tiga puluh ? kalau enggak saya cari yang laen dah” balasku emosi.
“tambah 2 rebu lagi laaaah”pinta si sopir.
 “gimana guys?” tanyaku kearah rekan rekan yang berdiri dibelakang.
“ sip sip” puguh, obi dan azmi serentak menjawab.
 “oke bang tiga puluh dua rebu, berempat kita...nih” sambil nyerahin uang .

    Kami masuk bis, lengang...Hanya ada bapak bapak tua di pojok depan dengan karung besar disebelahnya. Setiap melihat fenomena seperti ini saya selalu berfikir dimanakah anak anak oarng tua tersebut, atau tak pedulikah mereka untuk mengantar  bapaknya?. Fenomena seperti ini menjadi jurus ampuh untuk membuat saya merasa ‘kasian’ dan kemudian mereasa ‘bersedih’. Karena aslinya saya susah sekali untuk bersedih, atau bahkan menangis..terlalu susah.

    Kami duduk di bangku paling belakang, sambil meluruskan kaki yang terasa lelah...
 “akhirnya jadi juga kita muncak hehe” kali ini puguh yang memulai,
 “hahaha stupid lo, ya bakal jadi-lah dari awal juga”balas obi dengan gaya khasnya,
 “ooy, bangunin gua ya kalo dah nyampe purwokerto, gua mau merem dulu nih”kata ku yang mulai terasa cair suasana.
 “oke meeen” sahut puguh. Azmi dari tadi sibuk berkutat dengan hapenya, entah sms dari siapa yang dia baca, mukanya berseri seri,.. huahaha.

    Sialnya, baru sepuluh menit bis berjalan tiba tiba saja bisnya berhenti. “ayo semuanya pindah ke bis depan, ayo ayo” teriakan kondektur terdengar jelas. Kami geram, teramat sangat geram. Kami dibodohi, bukan hanya kami, tapi seluruh penumpang bis ini. Ternyata bis ini kurang ajar, kerjaanya hanya memasukan penumpang, kemudian jalan sedikit dan memindahkannya ke bis lain dan kemudian bis ini kembali lagi ke terminal untuk mencari korban lainnya dan terus saja berulang ulang seperti itu. Sungguh kurang ajar !. “tenang aja nanti gausah bayar lagi ko” teriak lagi si kondekturnya.

    Kami turun bis dengan emosi, kali ini bukan aku saja yang emosi, tapi kami berempat, semuanya. Kemudian kami masuk bis yang telah diarahkan, sialnya lagi kali ini kami tidak kebagian tempat duduk. “anjir. Kampret tuh bisnya...kesel gua sumpah”. Maki-ku. “tau nih anjir, pengen banget gua tampol tuh sopir” sahut obi lebih garang. Puguh hanya pasrah, azmi terdiam, tapi aku tahu dari raut mukanya dia sedang marah besar. Baiklah, kami bersabar “yang penting sampe tujuan”itulah kata kata yang selalu kuingat.

    Dua jam berlalu, tiba tiba si kondektur bis yang ke-dua ini berteriak serak “asal kalian tau ya, bis ini Cuma sampe Tegal, ga akan ke Purwokerto” terdengar riuh ber ’uuuuuh’ penumpang. Perasaan kami benar benar dipermainkan kali ini, senang, kesal, super kesal, prihatin, ceria dan kemudian emosi lagi...kali ini aku benar benar pasrah. Sungguh lemas.

    “Tegal tegaal, bis Cuma sampe sini” teriak kondektur lagi. Kami turun dengan sempoyongan, membawa carrier masing masing. Kami tepat berada diterik martahari, dipinggir jalan yang berdebu dan sungguh mengesalkan. Jarum jam sudah tepat menunjuk angka dua. Ya, jam dua siang. Target kami jam dua ini sampai di purwokerto, tapi nyatanya kami masih di tegal.
 “masih jauh ga, guh ?” tanyaku.
“inimah masih setengah perjalan lagi mus” balas puguh. Aaaaah..lenyap sudah tiket kereta dan ongkos bis tadi..

    Adalah hampir dua jam kami menunggu bis lain datang, tapi tak kunjung tiba. Bahkan kami mencoba meberhentikan kendaraan terbuka berkali kali, siapa tau ada yang berbaik hati membawa kami ke Terminal terdekat, atau sukur sukur langsung ke Purwokerto. Tapi semua nihil. Miris sekali bukan ? hahaha. Kami berdiri gosong di perempatan Lampu merah. Obi bahkan tertidur karena kelelahan. Puguh terduduk lemas, aku bersandar dicarrier yang ku gendong, hanya azmi yang masih semangat mencari kendaraan, orang ini selalu berbeda dengan yang lain, selalu ada semangat. Akhirnya bis yang ditunggu benar benar datang, dan seharusnya bis inilah yang kita tumpangi sejak awal di Cirebon tadi, tapi kami kena sial. Bis berhenti, kami masuk, dingin.... untungnya bis ini ber-AC. Kami langsung duduk, membayar ongkos sebesar dua puluh ribu, dan kemudian tertidur lelap.

                                                                      * * * * *

“Mus, mus,...”puguh membangunkan tidurku.
“kenapa guh, udah nyampe ya?” sambil setengah sadar.
 “bukan dodol, masi jauh..Entar kita nginep dimana ? ga mungkinlah kita naek malem malem, kita belum tau jalur”.
“oh iya ya, gua lupa, eh coba telpon si trondol, dia kan tinggal di purwokerto..bilangin kita numpang semalem gitu guh” balasku sambil kembali memejamkan mata. Kemudian puguh menuruti saranku. “mikum”,
“kumsalam”,
 “gimana kabar? Hehehe”
“bla bla bla bla bla bla”. Puguh memang ahlinya dalam komunikasi seperti ini, dia mahir berbirokrasi. “yaudah sok aja, berapa orang??” sahut trondol disebrang sana,
 “empat orang hehe”balas puguh.
“yaudah tar gua smsin alamatnya”kata trondol.
“oke, thanks ye”,
”sip”....
Inilah enaknya sekolah di pondok, maksudnya haka. Dimana mana pasti ada teman. Jadi gak perlu namanya ke hotel atau penginapan heheh.

     Jam tujuh malam, kami baru tiba di terminal Purwokerto. Lapar dan haus langsung terasa, tapi semuanya terkalahkan oleh rasa kantuk yang ‘dewa’ hahaha. Tanpa pikir panjang kami langsung mencari Taksi, dan memberikan alamat yang tadi di sms Trondol..

Taksi berhenti, sekarang kami tepat di depan Rumah Trondol. Kami segera turun dan masuk ke halaman Rumahnya. Dari dalam Trondol keluar dan menyambut kami dengan hangat. Kemudian dia memberikan jamuan terhebatnya, Lumpia Purwokerto. Rasanya sungguh dewa apalagi dengan penutup dua botol seprite malam itu. Benar benar membuat kami semakin ngantuk. Setelah berbincang bincang sebentar kami pun lansung tertidur.


                                                                  * * * * *

Sabtu, 9 juni 2012
    Karena terlau lelah, usai Sholat Shubuh kami melanjutkan tidur lagi, alhasil yang seharusnya jam tujuh kami mulai mendaki ternyata kami malah baru membuka mata. Benar benar anak muda terbaik hahaha.

   Trondol bangun lebih awal, dan membelikan kami sarapan. Karena waktu yang menipis sarapan kami bungkus, kami melahapnya di Angkot yang kami pesan tadi malam. Seratus lima puluh ribu, adalah harga sewa angkot dari Purwokerto menuju Pos Pendakian Bambangan, jauh dari perkiraan kami sebelumnya dan cukup membuat kami pusing juga dengan harga sebesar itu. Karena uang yang kami bawa semakin menipis apalagi setelah kejadian kemarin. Lengkap bangetlah pokonya...

Dari Pos menuju Gerbang Pendakian
    Selama diperjalanan menuju pos pendakian kami menghabiskan waktu dengan banyak tawa, cukup melegakan karena kemarin benar benar  hari yang tidak ada tawa sama sekali, kalaupun ada itu hanya tawa palsu coba cairkan susana. Tak lama kemudian kami tiba di pos pendakian. Ternyata kendaraan yang kami tumpangi tidak bisa mengantar sampai gerbang pendakian, karena tanjakannya yang sangat curam. Maka terpaksa kami berjalan menuju gerbang pendakian. Kalian ada yang pernah mendaki ciremai ??? nah tanjakan disini lebih parah daripada cibunar, tapi tak sepanjang cibunar. “Lumayanlah, itung itung pemanasan heheh”ceplos azmi dengan ketawa khasnya, kami hanya mebalas tawa dan kembali sibuk mengatur nafas, terus bergerak keatas. Tibalah digerbang pendakian, setelah berbincang bincang dengan penjaga pos, setelah kami membayar uang pendakian dan asuransi kecelakaan, setelah kami mengambil gambar didepan gerbang pendakian, akhirnya perjalanan hebat ini dimulai.
         
                                                               * * * * *

     “Mus santai mus” teriak azmi dari belakang. Aku menoleh, ternyata rekan rekan tertinggal jauh dibelakang, padahal ini baru sedikit saja dari gerbang pendakian. Tapi rekan rekan mulai terlihat kelelahan. Karena terlalu semangat saya melupakan mereka, terlalu asik melangkahkan kaki, padahal tanjakan sangat menggila.
 “oke break !” komando-ku. Obi yang terlihat paling kelelahan langsung duduk membanting carrier. Puguh bersandar dipohon, sedangkan azmi masih berjalan mengmpariku.
 “lu yakin tau jalurnya mus ?”tanya azmi dengan nafas menderu sambil menghampiri ku,
“iya mi, kalem aja, gua udah denger banyak cerita tentang jalur sini, katanya ini yang paling mudah dibanding yang lain. Dan kita Cuma tinggal ngikutin jalan aja”jawabku.
“kalo ada cabang ?” tanya azmi lagi.
 “ya kita liat mana yang paling sering diinjek orang jalannya, kan keliatan tuh yang sering dilewatin sama yang engga”.
“yaudah sip, gua ngikut aja hehe”.
 “hehe” Aku membalas ‘cengiran’ azmi.

    Sepuluh menit kemudian kami melanjutkan pendakian, kali ini Obi tepat dibelakangku, baru kemudian Azmi dan Puguh. Maksudnya supaya Obi tak tertinggal jauh lagi. Kami melewati hutan lebat dan teramat rapat, kicauan burung burung langsung terdengar, suaranya yang menggema menciptakan alunan nada tersendiri, membuat suasana pagi terasa lebih indah. Kabut tipis mulai turun, rasanya seperti masuk lemari pendingin. Aku merapatkan re-sleting jaket yang sejak awal sudah ku pakai, Obi dan Azmi memasang sarung tangan, Puguh memakai kupluk dan mengelap kacamatanya yang berembun.
“baru jam sepuluh bro, masih jauh gak ya?”getar suara obi kedinginan.
 “baru dua jam kita jalan bi, ya masih jauh atuh”timpalku.
“eh tapi kita ke-itung cepet tau dibanding pendaki pendaki laen, dari tadi kita udah nyalip berapa tim lain coba....”kata azmi.
“iyalah jelas, elu noh mus, jalan udah kaya kesetanan, cepet banget.hahaha” ujar puguh sambil tertawa.
 “Hahaha biar cepet nyampe men”balasku yang kemudian diiringi tawa kami bersama.

    Hutan lebat terlewati, kali ini kami melewati tebing tebing curam, dimana kiri kanan benar benar jurang yang tak terlihat dasarnya, lenguhan elang terdengar jelas. Dan terdengar hingar bingar air sungai jauh dibawah sana....Aku berbalik badan membuat Obi kebingungan. “napa mus?”,”gua pengen liat ke belakang, bi...tuh kan keren, liat dah..”, “keren apaan, engkong lu joget. Kabut begitu juga”... dan benar saja, dari ketinggian seperti ini kami bisa melihat indahnya keramaian dibawah sana, teramat sangat kecil. Meskipun kami tak dapat melihat jelas karena sesekali tertutup kabut. “tunggu dah, entar kabutnya ilang, nanti baru kliatan abis itu”balasku. “wuiiih, bener juga lu..keren men”sahut obi. Azmi dan puguh sudah lebih awal sibuk memperhatikan pemandangan ini, terlalu takjim sehingga mereka tak banyak berkata.

“Laper nih, masak yuk” pinta puguh.
“jam berapa sekarang?”tanyaku.
“jam dua mus” jawab azmi.
 “yaudah sekarang kita break, makan siang habis itu jalan lagi”.

     Obi langsung bergegas mengeluarkan alat alat memasak. Menatanya dengan rapi dan mulai menyalakan api. Inilah keahlian Obi, dia mahir menata barang di carrier, kami menyebutnya si tukang packing. Saking mahirnya, sebanyak apapun barang yang kita miliki pasti akan masuk carrier semua kalau Obi yang nge-packing. Berbeda dengan Saya, atau bahkan Azmi dan Puguh yang malah mempersempit carrier.

    Sesaat kemudian hidangan telah tersaji, Roti Bakar, Telor Dadar dan semangkuk Mie dengan Nasinya membuat kami semakin berselera untuk makan, kami melahapnya dengan waktu super singkat. Kalian pasti tau sendiri santri makannya seperti apa.hahaha. Usai makan siang kami melanjutkan perjalanan, saya kembali memimpin pendakian.


Lagi lagi Obi minta break
   “Breaaak” ini teriakku yang kesekian kalinya demi melihat wajah Obi yang kelelahan. Obi memang pemula disini. Ini gunung pertamanya, berbeda denganku, Azmi dan Puguh yang sudah berkali kali mendaki gunung seperti ini sebelumnya. Maka kami memaklumi Obi. Kali ini kami bersandar dibalik pohon yang tumbang, pohonnya teramat besar sehingga kami seperti bersandar dibalik dinding. Tak terlihat. Kemudain aku membuka pembicaraan “feeling gua pos terahir dikit lagi tau, sekarang udah jam stengah lima masalahnya”. “iya sih, gua juga ngerasa dikit lagi nyampe pos terahir”dukung Azmi. “yaudah lanjut yuk, keburu kemaleman”timpal puguh. “bentar lagi bentar lagi, kaki gua masih keram” pinta Obi memelas. “hahahaha sip sip” balasku.


Petunjuk Arah



Antara batas Vegetasi
    Sepuluh menit berlalu dan kami telah meninggalkan pohon tumbang tadi. Kali ini giliranku yang keram. Partama tama kaki kiri terasa sakit dilutut, aku tetap paksakan melangkah, kemudian kedua kaki ku tarasa amat sakit. Aku tetap memaksakan melangkah. Sedetik kemudian kaki ini seolah tak berfungsi, benar benar seperti mati. Aku langsung tergolek tak berdaya, carrier terbanting dan aku mengaduh kesakitan. Sontak teman teman langsung menaghampiri ku, Azmi tanpa disuruh langsung sigap membuka sepatuku dan mulai memijit perlahan.  Aku tak bisa berbuat apa apa, hanya mentup muka dengan sebelah tangan, menahan ngilu yang tiada tara. Dan kemudian kejadian ini terus berulang sampai tiga kali. Hingga akhirnya kami tiba di pos terakhir. Area persinggahan telah padat oleh tenda tenda pendaki lain. Kami tidak kebagian lahan. Kemudian kami meneruskan perjalanan hingga batas akhir vegetasi. Vegetasi itu adalah area layak huni. Dan kami tepat di perbatasan antara layak huni dan tak layak huni. Kami membangun tenda tepat dibawah jurang kawah yang menjulang tinggi keangkasa. Puncaknya terlihat sudah dekat tapi esok paginya kami baru tahu ternyata itu masih cukup jauh.

     Langit mulai gelap, kicauan burung tak lagi terdengar yang sekarang telah digantikan oleh riuh angin yang kencang. Sangat dingin, benar benar menusuk tulang. Para pendaki lain mulai merapat ke tenda masing masing, begitupun dengan kami. Kami berempat berkumpul dalam tenda bergambar Micky Mouse berukuran 3x3 meter, tenda ini hasil jarahan dari Adiknya Obi. Tak heran terdapat gambar Micky Mouse sangat besar dibagian pinggirnya. Gelutuk  gigi Puguh terdengar, dia sangat kedinginan, Obi terbaring tak berdaya, Azmi meniupi tangannya berulang ulang agar tak kaku, Aku menggigit pisau yang kubawa, berusaha menenangkan mulut yang bergetar. Sungguh dingin malam itu, dengan suhu hampir dibawah 9 derajat celcius. Cukup untuk  membunuh nyawa manusia.

     Sekarang  tepat pukul sembilan, aku merapatkan jaket kemudian keluar tenda untuk membantu Azmi yang dari tadi sedang sibuk menyiapkan makan malam. Udara langsung terasa menusuk mata, teramat sangat dingin. Bahkan jika kalian coba membuka botol air mineral maka botol tersebut akan berbunyi karena tiupan angin yang sangat kencang. Azmi mengeluh, minyak goreng yang kami bawa membeku seperti batu, kompor menyala tapi nasi tak kunjung matang, bahkan jika kalian coba sentuh api biru tersebut kalian tak akan merasakan panasnya selama hampir sepuluh detik, yang ada hanya hangat yang sedikit, sungguh gila dinginnya bukan? Hahaha. Makan malam tersaji, kami lahap dengan singkat, meskipun nasinya tak seenak tadi siang karena faktor suhu membuat nasi tak sempurna. Tapi kami tetap melahapnya dengan garang. Kami sangat kelaparan. Kemudian kami merebahkan badan dan mulai memejamkan mata.

                                                                      * * * * *
 
Minggu, 10 juni 2012
    Pukul dua malam, aku terbangun melihat Azmi yang belum bisa memejamkan matanya sejak tadi, dia hampir membeku. Wajahnya pucat. Mulutnya biru...
    Sejam berlalu dan Azmi belum sempat memejamkan matanya barang sedetikpun. Berbeda dengan Obi dan Puguh yang bersembunyi dibalik Sleeping Bag masing masing.
“mus nanti kalo dah jam tiga bangunin gua ya”pinta azmi
“oke mi, tar gua bangunin”jawabku
Azmi mulai berbaring dan merapatkan jaket, namun tiba tiba alarm Puguh berdering. Aku meraihnya dan terlihat jelas pukul tiga.
“yah mi, udah jam tiga nih hahahaha”tawaku jahil
“aaaah sial, gua belum tiduur padahal”azmi kesal.

     Kemudian aku membangunkan Obi dan Puguh, mengemasi barang dengan cepat dan meninggalkan tenda secepat mungkin, pagi ini kami harus melihat sunrise dari puncak. Kami menjadi tim pendaki pertama yang bangun, aku memimpin perjalanan, senter besar ku genggam erat, rekan rekan melangkah berurutan dibelakang. Tapi ada yang salah pagi itu, aku mengacuhkan sarung tanganku, aku hanya memakai sebelah sarung tangan.

    Tebing dengan kemiringan hampir 45 derajat, medan berbatu dengan batu dari yang kecil sampai yang sebesar anak dewasa, dari mulai yang bulat sampai yang tajam seperti duri. Semua ada. Jalur yang berpasir juga semakin menyulitkan pendakian kami. Selangkah saja kalian salah berpijak maka dua langkah kalian akan turun lagi. Tidak ada habisnya.

   “Pikmuuuuuuuus” terdengar serak teriakan azmi. Aku menoleh, ternyata rekan rekan jauh tertinggal di bawah, aku tak bisa melihat jelas karena hari masih gelap, tapi dibawah sana puguh tertinggal paling jauh. Ia berjalan sangat lamban. Puguh tak banyak bercerita, dia hanya terdiam kaku. (dua bulan kemudian aku tahu kecelakaan inilah yang membuat dokter melarangnya mendaki lagi sampai 1 atau 2 tahun kedepan). Aku berhenti, menunggu rekan rekan merapat. Ketika semua selesai merapat kami melanjutkan pendakian, tentunya dengan langkah yang lebih pelan.

    Beberapa lama kemudian aku baru merasakan akibat dari tak memakai sarung tangan sebelahnya lagi tadi, tangan kiriku benar benar beku, tak berfungsi, tak berasa apa apa, hanya seperti membawa benda mati. Tapi sekali tergores kerikil tebing sakitnya berkali kali lipat dari biasanya. Mungkin seperti ini rasanya membeku, aku berhenti, membuat yang lain ikut berhenti. Aku mengaduh kesakitan, sangat sakit. Obi langsung menghampiri dan kemudian meniupi tangan kiriku. Lima menit berlalu barulah tanganku terasa kembali, meskipin masih dingin kaku. Kami terus merangsek keatas, langit mulai berwarna jingga.

     Dugaan kami salah, kami mengira dari tenda kami ke puncak adalah dekat, ternyata dari tepat pukul tiga samapi jam setengah lima ini kami belum melihat ujung puncaknya, yang ada hanya tebing tinggi penuh pasir dan bebatuan yang tertiup angin kencang. Kali ini obi di depan, dia melakukan kesalahan..

     Kakinya berpijak pada batu yang salah, sontak obi tergelincir berjungkir jungkir, membuat kami berteriak panik. Saya tak tau apa yang harus saya lakukan kala itu, Obi berjungkir jungkir seperti boneka tepat diatas saya. Kemudian Obi tersangkut di batu batu tajam, dan longsoran batu batu diatas langsung tanpa ampun menghampiri saya, saya tak bisa berlari, kejadian ini sangat cepat. Alhasil kaki ini terhantam batu besar, saya berteriak kesakitan membuat Azmi dan Puguh kocar kacir dibawah sana.

    Tak lama kemudian kami melanjutkan pendakian, banyak lagi hal hal yang mengancam nyawa kami terjadi kala itu, namun itu tak mematahkan semangat kami. Akhirnya tepat pukul lima lewat tiga puluh kami tiba di Puncak Slamet, aku berteriak takjub, sungguh indah. Kami menjadi pendaki pertama yang tiba dipuncak. Kemudian usai Sholat Shubuh di bibir kawah kamiberhasil mengabadikan indahnya Sang Surya yang muncul dari balik awan awan putih.
Permukaan Puncak
     Jika kalian ingin melihat kawah, kalian harus turuni bukit dan kemudian menaiki bukit lagi, karena puncak Slamet tidak tepat dibibir kawah seperti gunung gunung lainnya, gunung ini berbeda. Kemudian kami mengitari kawah,bahkan sesekali melempar batu ke-arah kawah yang penuh dengan asap tebal, rasanya menyenangkan meskipun baunya tidak sedap. Dan terakhir kami mengambil banyak gambar dari sana.

    Setelah puas dipuncak kami turun, berbeda dengan naik. Ketika turun kami berlari melesat, mebuat kami tiba di tenda dengan waktu singkat. Kemudian setelah sarapan kami berkemas untuk pulang, tapi tiba tiba angin dengan tiupan yang kencang datang menghampiri, maka dengan sekali hempas tenda kami terbang, beruntung, sebelum tenda sempat terjatuh ke jurang Azmi telah melompat meraih tali tenda tersebut. Azmi terlihat seperti super hero kala itu :D

    Setelah semua siap kami langsung berlari dari atas, menuruni gunung, melewati hutan lebat, melompati tebing tebing tinggi. Aku tersungkur, terjungkir dan kemudian bangkit lagi melanjutkan berlari. Begitu juga dengan Obi, Azmi dan Puguh. Berkali kali mereka tiarap mencium tanah. Terjungkir dan tersungkur. Tapi ini membuat kami semakin menggila saja. Kami terus berlari. Bahkan menurutku, momen ter-seru ketika mendaki adalah ketika turun gunung. Itu terasa sangat menggoncang ardenalin.

     Tibalah kami di pos kedua sebelum pertama, kami berseru senang, sekarang pukul lima sore. Aku baru menyadari ternyata kamera yang aku ikat di leher telah raib. Aku bersorak panik, kemudian melepas carrier dan berlari memutar arah, aku berlari menggila sampai tengah gunung mengacuhkan seruan rekan rekan dibelakang, karena aku tak ingin kehilangan gambar gambar kami yang sudah hampir ratusan jumlahnya. Setiap bertemu pendaki lain aku bertanya tanya, berharap ada yang melihat kamera Kodak seri E, tapi semua nihil. Aku belum mau menyerah, aku mencoba menyisir semak semak, rumput rumput tapi tak juga aku melihatnya. Hari mulai gelap. Aku sendiri ditengah hutan lebat sekarang, tanpa senter tanpa rekan. Aku menyerah, aku berniat kembali menuruni gunung, pasti rekan rekan kecewa pikir ku... 

   Ternyata azmi menyusulku, benar benar super hero hahaha. Kemudian dia membantu pencarian sampai hari benar benar gelap. Namun semua tetap sia sia.

                                                       * * * * *

“ini si pikmus sama azmi mana” tanya Puguh
“ga tau tuh lama banget nyari kamera, ketemu gak ya”jawab Obi pasrah
“eh ini udah magrib dodol, mereka gak bawa senter, bisa mampus mereka”
“aduh toloool, yaudah, lima menit mereka ga dateng kita susul. Guh, siapin golok sama senter. Jam segini hewan liar pada keluar” sahut Obi tegas.

     Dan benar saja, lima menit berlalu tapi kami belum kunjung tiba, kami masih diperjalanan, terjebak oleh kegelapan. Aku mulai merasa panik, begitupun azmi. Hari benar benar gelap gulita.

     Beruntung, sebelum kami duduk pasrah, sebelum kami benar benar menyerah, sebelum kami berniat untuk bermalam di sini, Obi dan Puguh datang membawa senter, dengan siaga penuh mereka langsung menghampiri dan berseru panik
“udah, kamera mah gak penting, yang penting sekarang kita balik dan elu selamat” tegas Obi.

    Kemudian kami mengenggam erat senter yang mulai meredup dan kemudian berlari meninggalkan hutan lebat, melompati pohon tumbang, mencengkram erat akar akar pohon dan menerobos semak semak.. Dan tibalah di pos terahir, memasuki perumahan warga.

     Kami beristirahat di Warung kecil, tak ada pembicraan, saya tau pasti rekan rekan kecewa karena
saya telah menghilangklan kamera itu. Saya harus mengganti kamera itu, lumayan...Satu juta cukup mahal untuk kantong pelajar seperti saya. Tapi kemudian rekan rekan bersedia membantu, satu juta dibagi empat. Benar benar rekan yang baik, saya merasakan betapa indahnya ukhuwah yang kokoh seperti ini…

    Dan untungnya lagi, Azmi memiliki sedikit gambar di ponselnya. Dan ini menjadi satu satunya kenangan yang kami miliki, menjadi satu satunya bukti bahwa kita telah menaklukan Slamet.Azmi semakin terlihat hero saja hahahaha

“Malem ini kita nginep dimana nih ?” tanya Azmi sambil tertawa
“hahaha tadi gua dah sms Luthfi, dia mau jemput kita disini” timpal puguh riang.
“yess”.
“yeaaaah, emang terbaik lu guh” sahutku dan Obi.


     Luthfi adalah salah satu rekan kami yang tinggal di daerah Banjarnegara, cukup jauh memang dari pos pendakian.
Tapi dia berbaik hati menjemput kami…

     Keesokan harinya setelah berpamitan dengan keluarga Luthfi kami langsung pulang,
Menaiki bis yang sama dan jalan yang sama. Karena lagi lagi kami tak kedapatan kereta.


Sepanjang perjalanan pulang kami habiskan dengan tertawa dan kemudian tertidur hingga akhirnya kami tiba di pondok tercinta, Husnul khotimah.

Mendaki memang menjadi hoby favorit kami..

                                                                       * * * * *

Azmi, Puguh dan Obi…kalian adalah pendaki yang hebat.
Kapan kapan kita sisir Gunung gunung di Tanah Air..
Sampai jumpa di puncak kesuksesan selanjutnya, salam hangat dari negeri Piramid
Dan selamat hari Raya Kurban :)))

   



 




Bibir Kawah