Nuansa malam yang pekat dan udara yang panas di kediaman rekan saya daerah kelapa dua depok membuat saya tidak dapat memejamkan mata kala itu. Bersama ketiga rekan saya yang usai melaksanakan tes seleksi masuk universitas Al-Azhar kami mebicarakan banyak hal malam itu, termasuk agenda liburan panjang setelah menempuh Ujian Nasional dan resmi melepas seragam abu abu.
Setelah melakukan pembicaraan panjang
dengan rekan rekan, akhirnya kami memutuskan untuk menaklukan gunung tertinggi
ke-dua di pulau jawa. Gunung Slamet, entah apa yang ada di benak saya kala itu
yang tiba tiba saja memilih gunung tersebut, padahal masih ada puluhan gunung
di negeri ini. Dan mitos mitos yang kami dengar tentang gunung tersebut
menciptakan aura tersendiri di dada masing masing. Membuat rencana ini semakin
gila saja. Ini adalah gunung ke-empat yang kami daki. Pembicaraan ditutup
kemudian disepakati tanggal 8-9 juni 2012 adalah waktu pendakian. Ekspedisi ini
akan sangat menantang dan saya sangat menanti waktu itu tiba.
Jumat, 8 juni 2012
Pagi ini saya sedang sibuk mengemasi barang
barang sambil menunggu kedatangan dua rekan saya yang dalam perjalanan menuju
pondok tercinta, kami memilih tempat ini untuk berkumpul. Tiga buah carrier dan satu buah tas backpacker
telah saya siapkan, semua perlengkapan pendakian yang kami miliki dikumpulkan,
termasuk senjata tajam dan peledak ringan untuk berjaga dari Hewan Buas dan Badai.
Oya, mungkin kalian
pernah mendengar cerita tentang hewan hewan buas yang menghuni gunung Slamet,
cukup berbahaya. Tapi pernahkah kalian mendengar cerita tentang badai dahsyat
yang terjadi setiap 4 tahun sekali disana? Sedikit saja bercerita, sebenarnya
badai ini tidak pernah bisa diprediksi kapan munculnya, setelah kejadian 4
tahun silam yang memakan 10 orang korban ulah badai tersebut membuat kami siaga
akan segala kemungkinan yang akan terjadi. Menurut penduduk sekitar, 10 orang
tersebut ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan, dengan suhu
hampir dibawah 9 derajat celcius membuat para korban beku dalam posisi yang
memprihatinkan. Cuaca yang buruk dengan jarak pandang tidak lebih dari dua
meter ditambah kemiringan medan hampir empat puluh lima derajat membuat para
relawan kesulitan dalam mengevakuasi para korban, ditambah kerasnya tiupan angin
yang katanya sanggup menghempas batu batu sebesar kepalan tangan semakin
merepotkan para relawan, asal kalian tau saja, para relawan menggunakan jaket
tebal berlapis lapis dan helm demi keamanan, bahkan mereka mengikat tubuh satu
sama lain dengan tambang agar tidak terpisah karena tertutup kabut tebal.
Mengerikan sekali bukan ? bisa kalian
bayangkan sendiri seperti apa situasi saat itu. Percaya atau tidak itu bebas,
yang jelas cerita ini saya dengar langsung dari salah satu relawan yang ikut
mengevakuasi kala itu. Dan cerita ini menjadi salah satu faktor yang membuat
kami selalu siaga dan semakin menambah
suasana mencekam dalam perjalanan nanti.
Dua rekan saya yang lain tiba, akhirnya
anggota telah lengkap dan siap.
* * * * *
Dua hari sebelum keberangkatan saya telah
memesan 4 buah tiket kereta jurusan Cirebon - Purwokerto, angka sepuluh
tertulis jelas di tiket tersebut, itu artinya kereta akan melaju tepat pukul
sepuluh. Namun ada sedikit masalah yang merusak susana saya pagi itu, dan dari
sinilah cerita itu dimulai...
Jarum jam menunjukan tepat pukul sembilan,
sedangkan kami masih duduk manis menunggu
barang yang kami pinjam dari salah satu rekan saya.barang ini terlalu
penting untuk ditinggalkan. Kalian tau ? perjalanan dari pondok kami ke stasiun
terdekat bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Saya semakin geram saja ketika
orang yang ditunggu tak kunjung tiba, hingga akhirnya saya memutuskan untuk
menjemput pinjaman barang tersebut. Jarak dari pondok ke rumah rekan sekitar
10km, membuat waktu semakin menipis. Dengan pinjaman motor dari security pondok
saya ‘geber’ menuju rumah rekan saya. Ternyata rekan saya tertidur karena
begadang semalam dan memohon maaf karena telah membuat kami menunggu, padahal
awalnya dia menjanjikan akan diantar pukul tujuh pagi. Jadi berapa lama tuh
kita nunggu ? itung aja sendiri yaaa haha
Satu masalah
terlewatkan, tapi masalah lain menunggu..
Karena takut tertinggal kereta, setelah
semua siap kami berlari dari gerbang pondok menuju jalan raya, dengan
menggendong carrier yang hampir 15 kg beratnya, meskipun nafas telah menderu
dan keringat mengucur, kami paksakan kaki untuk tetap berlari. Kalian tau kan
jarak dari gerbang ke bawah seberapa jauh ? nah bayangin aja muka kita kaya
gimana pas lagi lari hahaha. Akhirnya kami naik kendaraan umum, melihat jam
sudah menunjukan angka 9 lewat 30. Itu artinya kereta akan melaju 30 menit
lagi. Aku berpikir cepat, kemudian memutuskan untuk membayar lebih agar kami
diantar langsung ke stasiun dengan kecepatan penuh, karena tidak ada kendaraan
yang langsung menuju stasiun, semua berhenti di terminal. Kemudian saya memulai
negosiasi..
“Bang, empat orang
ke stasiun gocap ya ?”
“Stasiun perujakan
apa stasiun lama dek ?”
“Stasiun lama
bang..”
“Tambah gocap lagi
laaaah.. “
“Ogah bang, ini
udah pas duitnya, mau ga? Ngejer kereta nih bang..”
“Yaudah de, gocap
deal. Emang jam berapa keretanya?”
“Jam sepuluh bang,
30 menit lagi nih, ke kejer gak ya ?”
“Buset, 30 menit
ya? Okelah biar abang kebutin..”
Aku tersenyum riang dan mengangkat jempol
kearah rekan rekan yang duduk di kursi belakang.
Oya, kalian belum
tahu siapa saja ke-tiga rekan saya itu. Baiklah, simak baik baik..
Yang pertama adalah jebolan pondok kami,
dia hanya belajar dipondok sampai kelas sepuluh saja, karena melanjutkan
studinya ke Cairo. Rambutnya keriting dan tampangnya selalu ngajak ribut
hahahaha, sebut saja Obi. Selanjutnya, rekan yang satu ini sering dipanggil
kakek tua, kolot atau apalah itu. Mungkin karena dia paling tua diantara kami
dan memang dia bermuka ke-bapa bapa-an, eh ke-kake kake-an yang benermah atau
si muka taun 70-an hahaha, namanya Puguh. Kemudian yang terakhir, orang ini
memiliki alis yang unik, teman teman menyebutnya alis nge-punk.
Tentu saja karena
alisnya tegak berdiri menantang langit hahaha, dia memiliki pemikiran yang
lebih terdepan dalam masalah rumah tangga dibanding kami dan sangat ter-obsesi
dengan nikah muda hahahahaha panggil saja Azmi.
Baiklah kita
lanjutkan ceritanya..
Benar benar sopir yang gila, akhirnya
setelah meliuk liuk dijalan raya dengan gila dan berkali kali hampir menabrak
kendaraan lain kami pun tiba pukul sepuluh lewat lima menit, itu artinya kami
hanya memakan waktu 35 menit untuk menuju stasiun. Kalian tau kan jauhnya dari
pondok ke stasiun ? hahaha. Bayangin aja kaya gimana laju mobilnya yg 35 menit
sampai di stasiun.Cukup gila.
Setelah membayar ongkos kami langsung
menurunkan barang barang dan segera berlari menuju loket penjagaan yang
kemudian langsung disambut penjaga
“ mari dek, silahkan..boleh liat tiketnya..”
Kami sontak
mengeluarkan tiket dan menyerahkannya “ ini pak”..
Tiba tiba penjaga
mengerutkan dahi “yah dek, keretanya
barusaaaan aja pergi, maaf yaah”.
“Terus gimana dong pak? Bisa diundur ga?”
Tanyaku kesal.
“Ya ga bisa atuh dek, kalo mau adek pesen
lagi” ujarnya.Mulutku langsung mengeluarkan makian makian kesal, aku mengutuk
keterlambatan ini. Bayangkan, setelah emosi menunggu barang pinjaman yang telat
tadi, kemudian rela mengeluarkan uang lebih demi bersegara menuju stasiun,
setelah berpanik panik ria dijalanan menanti tiba di stasiun, ternyata kami
tetap tertinggal kereta. Dan tentu saja ini membuat saya emosi. Padahal kami
hanya telat lima menit. Dan kala itu kami merasakan betul betapa pentingnya
tepat waktu.
Akhirnya saya coba memesan tiket baru
keberangkatan satu jam kemudian, tapi urung karena harganya lima kali lipat
lebih mahal dibanding tiket yang kami pesan sebelumnya. Saya semakin menggila
saja. Saya yang memimpin ekspedisi ini, yang merencanakan jalannya pendakian
ini yang seharusnya semangat memimpin rekan rekan malah duduk lemas di lantai
stasiun, pasrah.
“Nyantai aja mus, gausah emosi, jadi gaenak
diliat mukanya hehehe” ujar Azmi sambil menepuk bahuku.Aku hanya mebalas
anggukan lemas. Obi dan Puguh sibuk memikirkan rencana lain, mereka bertanya
tanya ke penjaga loket kendaraan apa lagi yang bisa kami tumpangi menuju Purwekerto.
“Kata penjaganya naek bis aja, ada yang
langsung ke Purwokerto” teriak puguh sambil berlari kearah kami. “emang berapa
bayarnya guh?” ujar azmi. “ katanya sih Cuma 30 rebu” potong Obi sebelum Puguh
sempat menjawab. “yaudah lanjutalah, ayo mus daripada gak sama sekali 30 rebu
gapapalah” sahut Azmi sambil berusaha menenangkanku yang masih emosi. Yang
ditanya hanya mengangguk lemas, sudah pasrah dengan kondisi seperti ini.
Kemudian kami ‘nyarter’ angkot menuju
terminal, berbalik arah.
“mungkin gara gara
kita belum jumatan kali ya jadi sial gini”kata azmi yang memecah keheningan
dalam angkot.
“iya nih kita disuruh
jumatan dulu kali ya” sahut puguh sambil nyengir coba mencairkan susana.
”kitakan safar, dodoool” jawabku sewot. Azmi dan puguh tidak melanjutkan
pembicaraan. Si Obi hanya diam termenung, entah apa yang dia pikirkan saat itu
sehingga tidak peduli dengan percakapan kami.
Lima belas menit berlalu, kami tiba di
terminal. Suasana yang ramai, sesak dan kumuh membuatku semakin muak. Baru saja
kami keluar melangkah dari angkot langsung diserbu para kondektur angkutan
umum, “grage mas grage” “ mau
kemana mas?” “hayu dek babakan babakan, kuningan kuningan” dan banyak lagi
teriakan teriakan entahlah apa itu yang mebuat hari ini semakin sesak saja.
Pasti kalian tau rasanya seperti apa terus menerus ditanyai tujuannya kemana,
atau bahkan ngotot maksa agar kita masuk kendaraannya. Menyebalkan.
Kami melangkah tak peduli mengacuhkan para
kondektur yang terus membuntuti dan kami mulai mencari bis yang bertulisakn
purwokerto. Beruntung, bis tersebut tidak susah ditemukan, dia terparkir manis
dipinggir trotoar. Kami mendekati bis dan lanngsung disambut si sopir,
“purwokerto mas ?”,
“iya pak, tigapuluh ya !” timpalku.
“waduh mas,
tigapuluh mah belum dapet buat bensinnya juga” keluh si sopir.
“ yaudah mau gak nih tiga puluh ? kalau enggak
saya cari yang laen dah” balasku emosi.
“tambah 2 rebu lagi
laaaah”pinta si sopir.
“gimana guys?” tanyaku kearah rekan rekan yang
berdiri dibelakang.
“ sip sip” puguh,
obi dan azmi serentak menjawab.
“oke bang tiga puluh dua rebu, berempat
kita...nih” sambil nyerahin uang .
Kami masuk bis, lengang...Hanya ada bapak
bapak tua di pojok depan dengan karung besar disebelahnya. Setiap melihat
fenomena seperti ini saya selalu berfikir dimanakah anak anak oarng tua
tersebut, atau tak pedulikah mereka untuk mengantar bapaknya?. Fenomena seperti ini menjadi jurus
ampuh untuk membuat saya merasa ‘kasian’ dan kemudian mereasa ‘bersedih’.
Karena aslinya saya susah sekali untuk bersedih, atau bahkan menangis..terlalu
susah.
Kami duduk di bangku paling belakang, sambil
meluruskan kaki yang terasa lelah...
“akhirnya jadi juga kita muncak hehe” kali ini
puguh yang memulai,
“hahaha stupid lo, ya bakal jadi-lah dari awal
juga”balas obi dengan gaya khasnya,
“ooy, bangunin gua ya kalo dah nyampe
purwokerto, gua mau merem dulu nih”kata ku yang mulai terasa cair suasana.
“oke meeen” sahut puguh. Azmi dari tadi sibuk
berkutat dengan hapenya, entah sms dari siapa yang dia baca, mukanya berseri
seri,.. huahaha.
Sialnya, baru sepuluh menit bis berjalan
tiba tiba saja bisnya berhenti. “ayo semuanya pindah ke bis depan, ayo ayo”
teriakan kondektur terdengar jelas. Kami geram, teramat sangat geram. Kami
dibodohi, bukan hanya kami, tapi seluruh penumpang bis ini. Ternyata bis ini
kurang ajar, kerjaanya hanya memasukan penumpang, kemudian jalan sedikit dan
memindahkannya ke bis lain dan kemudian bis ini kembali lagi ke terminal untuk
mencari korban lainnya dan terus saja berulang ulang seperti itu. Sungguh
kurang ajar !. “tenang aja nanti gausah bayar lagi ko” teriak lagi si kondekturnya.
Kami turun bis dengan emosi, kali ini bukan
aku saja yang emosi, tapi kami berempat, semuanya. Kemudian kami masuk bis yang
telah diarahkan, sialnya lagi kali ini kami tidak kebagian tempat duduk.
“anjir. Kampret tuh bisnya...kesel gua sumpah”. Maki-ku. “tau nih anjir, pengen
banget gua tampol tuh sopir” sahut obi lebih garang. Puguh hanya pasrah, azmi
terdiam, tapi aku tahu dari raut mukanya dia sedang marah besar. Baiklah, kami
bersabar “yang penting sampe tujuan”itulah kata kata yang selalu kuingat.
Dua jam berlalu, tiba tiba si kondektur bis
yang ke-dua ini berteriak serak “asal kalian tau ya, bis ini Cuma sampe Tegal,
ga akan ke Purwokerto” terdengar riuh ber ’uuuuuh’ penumpang. Perasaan kami
benar benar dipermainkan kali ini, senang, kesal, super kesal, prihatin, ceria
dan kemudian emosi lagi...kali ini aku benar benar pasrah. Sungguh lemas.
“Tegal tegaal, bis Cuma sampe sini” teriak
kondektur lagi. Kami turun dengan sempoyongan, membawa carrier masing masing.
Kami tepat berada diterik martahari, dipinggir jalan yang berdebu dan sungguh
mengesalkan. Jarum jam sudah tepat menunjuk angka dua. Ya, jam dua siang.
Target kami jam dua ini sampai di purwokerto, tapi nyatanya kami masih di
tegal.
“masih jauh ga, guh ?” tanyaku.
“inimah masih setengah
perjalan lagi mus” balas puguh. Aaaaah..lenyap sudah tiket kereta dan ongkos
bis tadi..
Adalah hampir dua jam kami menunggu bis
lain datang, tapi tak kunjung tiba. Bahkan kami mencoba meberhentikan kendaraan
terbuka berkali kali, siapa tau ada yang berbaik hati membawa kami ke Terminal
terdekat, atau sukur sukur langsung ke Purwokerto. Tapi semua nihil. Miris
sekali bukan ? hahaha. Kami berdiri gosong di perempatan Lampu merah. Obi
bahkan tertidur karena kelelahan. Puguh terduduk lemas, aku bersandar dicarrier
yang ku gendong, hanya azmi yang masih semangat mencari kendaraan, orang ini
selalu berbeda dengan yang lain, selalu ada semangat. Akhirnya bis yang
ditunggu benar benar datang, dan seharusnya bis inilah yang kita tumpangi sejak
awal di Cirebon tadi, tapi kami kena sial. Bis berhenti, kami masuk, dingin....
untungnya bis ini ber-AC. Kami langsung duduk, membayar ongkos sebesar dua
puluh ribu, dan kemudian tertidur lelap.
* * * * *
“Mus, mus,...”puguh
membangunkan tidurku.
“kenapa guh, udah
nyampe ya?” sambil setengah sadar.
“bukan dodol, masi jauh..Entar kita nginep
dimana ? ga mungkinlah kita naek malem malem, kita belum tau jalur”.
“oh iya ya, gua
lupa, eh coba telpon si trondol, dia kan tinggal di purwokerto..bilangin kita
numpang semalem gitu guh” balasku sambil kembali memejamkan mata. Kemudian
puguh menuruti saranku. “mikum”,
“kumsalam”,
“gimana kabar? Hehehe”
“bla bla bla bla
bla bla”. Puguh memang ahlinya dalam komunikasi seperti ini, dia mahir
berbirokrasi. “yaudah sok aja, berapa orang??” sahut trondol disebrang sana,
“empat orang hehe”balas puguh.
“yaudah tar gua
smsin alamatnya”kata trondol.
“oke, thanks ye”,
”sip”....
Inilah enaknya
sekolah di pondok, maksudnya haka. Dimana mana pasti ada teman. Jadi gak perlu
namanya ke hotel atau penginapan heheh.
Jam tujuh malam, kami baru tiba di
terminal Purwokerto. Lapar dan haus langsung terasa, tapi semuanya terkalahkan
oleh rasa kantuk yang ‘dewa’ hahaha. Tanpa pikir panjang kami langsung mencari
Taksi, dan memberikan alamat yang tadi di sms Trondol..
Taksi berhenti,
sekarang kami tepat di depan Rumah Trondol. Kami segera turun dan masuk ke
halaman Rumahnya. Dari dalam Trondol keluar dan menyambut kami dengan hangat.
Kemudian dia memberikan jamuan terhebatnya, Lumpia Purwokerto. Rasanya sungguh
dewa apalagi dengan penutup dua botol seprite malam itu. Benar benar membuat
kami semakin ngantuk. Setelah berbincang bincang sebentar kami pun lansung
tertidur.
* * * * *
Sabtu, 9 juni 2012
Karena terlau lelah, usai Sholat Shubuh
kami melanjutkan tidur lagi, alhasil yang seharusnya jam tujuh kami mulai
mendaki ternyata kami malah baru membuka mata. Benar benar anak muda terbaik
hahaha.
Trondol bangun lebih awal, dan membelikan
kami sarapan. Karena waktu yang menipis sarapan kami bungkus, kami melahapnya
di Angkot yang kami pesan tadi malam. Seratus lima puluh ribu, adalah harga
sewa angkot dari Purwokerto menuju Pos Pendakian Bambangan, jauh dari perkiraan
kami sebelumnya dan cukup membuat kami pusing juga dengan harga sebesar itu.
Karena uang yang kami bawa semakin menipis apalagi setelah kejadian kemarin.
Lengkap bangetlah pokonya...
Dari Pos menuju Gerbang Pendakian |
* * * * *
“Mus santai mus” teriak azmi dari
belakang. Aku menoleh, ternyata rekan rekan tertinggal jauh dibelakang, padahal
ini baru sedikit saja dari gerbang pendakian. Tapi rekan rekan mulai terlihat
kelelahan. Karena terlalu semangat saya melupakan mereka, terlalu asik
melangkahkan kaki, padahal tanjakan sangat menggila.
“oke break !” komando-ku. Obi yang terlihat
paling kelelahan langsung duduk membanting carrier. Puguh bersandar dipohon,
sedangkan azmi masih berjalan mengmpariku.
“lu yakin tau jalurnya mus ?”tanya azmi dengan
nafas menderu sambil menghampiri ku,
“iya mi, kalem aja, gua udah denger banyak
cerita tentang jalur sini, katanya ini yang paling mudah dibanding yang lain.
Dan kita Cuma tinggal ngikutin jalan aja”jawabku.
“kalo ada cabang ?”
tanya azmi lagi.
“ya kita liat mana yang paling sering diinjek
orang jalannya, kan keliatan tuh yang sering dilewatin sama yang engga”.
“yaudah sip, gua ngikut
aja hehe”.
“hehe” Aku membalas ‘cengiran’ azmi.
Sepuluh menit
kemudian kami melanjutkan pendakian, kali ini Obi tepat dibelakangku, baru kemudian
Azmi dan Puguh. Maksudnya supaya Obi tak tertinggal jauh lagi. Kami melewati
hutan lebat dan teramat rapat, kicauan burung burung langsung terdengar,
suaranya yang menggema menciptakan alunan nada tersendiri, membuat suasana pagi
terasa lebih indah. Kabut tipis mulai turun, rasanya seperti masuk lemari
pendingin. Aku merapatkan re-sleting jaket yang sejak awal sudah ku pakai, Obi
dan Azmi memasang sarung tangan, Puguh memakai kupluk dan mengelap kacamatanya
yang berembun.
“baru jam sepuluh
bro, masih jauh gak ya?”getar suara obi kedinginan.
“baru dua jam kita jalan bi, ya masih jauh
atuh”timpalku.
“eh tapi kita
ke-itung cepet tau dibanding pendaki pendaki laen, dari tadi kita udah nyalip
berapa tim lain coba....”kata azmi.
“iyalah jelas, elu
noh mus, jalan udah kaya kesetanan, cepet banget.hahaha” ujar puguh sambil
tertawa.
“Hahaha biar cepet nyampe men”balasku yang
kemudian diiringi tawa kami bersama.
Hutan lebat
terlewati, kali ini kami melewati tebing tebing curam, dimana kiri kanan benar
benar jurang yang tak terlihat dasarnya, lenguhan elang terdengar jelas. Dan
terdengar hingar bingar air sungai jauh dibawah sana....Aku berbalik badan
membuat Obi kebingungan. “napa mus?”,”gua pengen liat ke belakang, bi...tuh kan
keren, liat dah..”, “keren apaan, engkong lu joget. Kabut begitu juga”... dan
benar saja, dari ketinggian seperti ini kami bisa melihat indahnya keramaian
dibawah sana, teramat sangat kecil. Meskipun kami tak dapat melihat jelas
karena sesekali tertutup kabut. “tunggu dah, entar kabutnya ilang, nanti baru
kliatan abis itu”balasku. “wuiiih, bener juga lu..keren men”sahut obi. Azmi dan
puguh sudah lebih awal sibuk memperhatikan pemandangan ini, terlalu takjim
sehingga mereka tak banyak berkata.
“Laper nih, masak
yuk” pinta puguh.
“jam berapa
sekarang?”tanyaku.
“jam dua mus” jawab
azmi.
“yaudah sekarang kita break, makan siang habis
itu jalan lagi”.
Obi langsung bergegas mengeluarkan alat
alat memasak. Menatanya dengan rapi dan mulai menyalakan api. Inilah keahlian Obi,
dia mahir menata barang di carrier, kami menyebutnya si tukang packing. Saking
mahirnya, sebanyak apapun barang yang kita miliki pasti akan masuk carrier
semua kalau Obi yang nge-packing. Berbeda dengan Saya, atau bahkan Azmi dan Puguh
yang malah mempersempit carrier.
Sesaat kemudian hidangan telah tersaji,
Roti Bakar, Telor Dadar dan semangkuk Mie dengan Nasinya membuat kami semakin
berselera untuk makan, kami melahapnya dengan waktu super singkat. Kalian pasti
tau sendiri santri makannya seperti apa.hahaha. Usai makan siang kami
melanjutkan perjalanan, saya kembali memimpin pendakian.
Lagi lagi Obi minta break |
Petunjuk Arah |
Antara batas Vegetasi |
Langit mulai gelap, kicauan burung tak
lagi terdengar yang sekarang telah digantikan oleh riuh angin yang kencang.
Sangat dingin, benar benar menusuk tulang. Para pendaki lain mulai merapat ke
tenda masing masing, begitupun dengan kami. Kami berempat berkumpul dalam tenda
bergambar Micky Mouse berukuran 3x3 meter, tenda ini hasil jarahan dari Adiknya
Obi. Tak heran terdapat gambar Micky Mouse sangat besar dibagian pinggirnya.
Gelutuk gigi Puguh terdengar, dia sangat
kedinginan, Obi terbaring tak berdaya, Azmi meniupi tangannya berulang ulang
agar tak kaku, Aku menggigit pisau yang kubawa, berusaha menenangkan mulut yang
bergetar. Sungguh dingin malam itu, dengan suhu hampir dibawah 9 derajat
celcius. Cukup untuk membunuh nyawa
manusia.
Sekarang
tepat pukul sembilan, aku merapatkan jaket kemudian keluar tenda untuk
membantu Azmi yang dari tadi sedang sibuk menyiapkan makan malam. Udara
langsung terasa menusuk mata, teramat sangat dingin. Bahkan jika kalian coba
membuka botol air mineral maka botol tersebut akan berbunyi karena tiupan angin
yang sangat kencang. Azmi mengeluh, minyak goreng yang kami bawa membeku
seperti batu, kompor menyala tapi nasi tak kunjung matang, bahkan jika kalian
coba sentuh api biru tersebut kalian tak akan merasakan panasnya selama hampir
sepuluh detik, yang ada hanya hangat yang sedikit, sungguh gila dinginnya
bukan? Hahaha. Makan malam tersaji, kami lahap dengan singkat, meskipun nasinya
tak seenak tadi siang karena faktor suhu membuat nasi tak sempurna. Tapi kami
tetap melahapnya dengan garang. Kami sangat kelaparan. Kemudian kami merebahkan
badan dan mulai memejamkan mata.
* * * * *
Minggu, 10 juni 2012
Pukul dua malam, aku terbangun melihat Azmi
yang belum bisa memejamkan matanya sejak tadi, dia hampir membeku. Wajahnya
pucat. Mulutnya biru...
Sejam berlalu dan Azmi belum sempat
memejamkan matanya barang sedetikpun. Berbeda dengan Obi dan Puguh yang
bersembunyi dibalik Sleeping Bag masing masing.
“mus nanti kalo dah
jam tiga bangunin gua ya”pinta azmi
“oke mi, tar gua
bangunin”jawabku
Azmi mulai
berbaring dan merapatkan jaket, namun tiba tiba alarm Puguh berdering. Aku
meraihnya dan terlihat jelas pukul tiga.
“yah mi, udah jam
tiga nih hahahaha”tawaku jahil
“aaaah sial, gua
belum tiduur padahal”azmi kesal.
Kemudian aku membangunkan Obi dan Puguh,
mengemasi barang dengan cepat dan meninggalkan tenda secepat mungkin, pagi ini
kami harus melihat sunrise dari puncak. Kami menjadi tim pendaki pertama yang
bangun, aku memimpin perjalanan, senter besar ku genggam erat, rekan rekan
melangkah berurutan dibelakang. Tapi ada yang salah pagi itu, aku mengacuhkan
sarung tanganku, aku hanya memakai sebelah sarung tangan.
Tebing dengan kemiringan hampir 45 derajat,
medan berbatu dengan batu dari yang kecil sampai yang sebesar anak dewasa, dari
mulai yang bulat sampai yang tajam seperti duri. Semua ada. Jalur yang berpasir
juga semakin menyulitkan pendakian kami. Selangkah saja kalian salah berpijak
maka dua langkah kalian akan turun lagi. Tidak ada habisnya.
“Pikmuuuuuuuus” terdengar serak teriakan
azmi. Aku menoleh, ternyata rekan rekan jauh tertinggal di bawah, aku tak bisa
melihat jelas karena hari masih gelap, tapi dibawah sana puguh tertinggal
paling jauh. Ia berjalan sangat lamban. Puguh tak banyak bercerita, dia hanya
terdiam kaku. (dua bulan kemudian aku tahu kecelakaan inilah yang membuat
dokter melarangnya mendaki lagi sampai 1 atau 2 tahun kedepan). Aku berhenti,
menunggu rekan rekan merapat. Ketika semua selesai merapat kami melanjutkan
pendakian, tentunya dengan langkah yang lebih pelan.
Beberapa lama kemudian aku baru merasakan
akibat dari tak memakai sarung tangan sebelahnya lagi tadi, tangan kiriku benar
benar beku, tak berfungsi, tak berasa apa apa, hanya seperti membawa benda
mati. Tapi sekali tergores kerikil tebing sakitnya berkali kali lipat dari
biasanya. Mungkin seperti ini rasanya membeku, aku berhenti, membuat yang lain
ikut berhenti. Aku mengaduh kesakitan, sangat sakit. Obi langsung menghampiri
dan kemudian meniupi tangan kiriku. Lima menit berlalu barulah tanganku terasa
kembali, meskipin masih dingin kaku. Kami terus merangsek keatas, langit mulai
berwarna jingga.
Dugaan kami salah, kami mengira dari tenda
kami ke puncak adalah dekat, ternyata dari tepat pukul tiga samapi jam setengah
lima ini kami belum melihat ujung puncaknya, yang ada hanya tebing tinggi penuh
pasir dan bebatuan yang tertiup angin kencang. Kali ini obi di depan, dia
melakukan kesalahan..
Kakinya berpijak pada batu yang salah,
sontak obi tergelincir berjungkir jungkir, membuat kami berteriak panik. Saya
tak tau apa yang harus saya lakukan kala itu, Obi berjungkir jungkir seperti
boneka tepat diatas saya. Kemudian Obi tersangkut di batu batu tajam, dan
longsoran batu batu diatas langsung tanpa ampun menghampiri saya, saya tak bisa
berlari, kejadian ini sangat cepat. Alhasil kaki ini terhantam batu besar, saya
berteriak kesakitan membuat Azmi dan Puguh kocar kacir dibawah sana.
Tak lama kemudian kami melanjutkan
pendakian, banyak lagi hal hal yang mengancam nyawa kami terjadi kala itu,
namun itu tak mematahkan semangat kami. Akhirnya tepat pukul lima lewat tiga
puluh kami tiba di Puncak Slamet, aku berteriak takjub, sungguh indah. Kami
menjadi pendaki pertama yang tiba dipuncak. Kemudian usai Sholat Shubuh di
bibir kawah kamiberhasil mengabadikan indahnya Sang Surya yang muncul dari
balik awan awan putih.
Jika kalian ingin melihat kawah, kalian
harus turuni bukit dan kemudian menaiki bukit lagi, karena puncak Slamet tidak
tepat dibibir kawah seperti gunung gunung lainnya, gunung ini berbeda. Kemudian
kami mengitari kawah,bahkan sesekali melempar batu ke-arah kawah yang penuh
dengan asap tebal, rasanya menyenangkan meskipun baunya tidak sedap. Dan
terakhir kami mengambil banyak gambar dari sana.
Setelah puas dipuncak kami turun, berbeda
dengan naik. Ketika turun kami berlari melesat, mebuat kami tiba di tenda
dengan waktu singkat. Kemudian setelah sarapan kami berkemas untuk pulang, tapi
tiba tiba angin dengan tiupan yang kencang datang menghampiri, maka dengan
sekali hempas tenda kami terbang, beruntung, sebelum tenda sempat terjatuh ke
jurang Azmi telah melompat meraih tali tenda tersebut. Azmi terlihat seperti
super hero kala itu :D
Setelah semua siap kami langsung berlari
dari atas, menuruni gunung, melewati hutan lebat, melompati tebing tebing
tinggi. Aku tersungkur, terjungkir dan kemudian bangkit lagi melanjutkan
berlari. Begitu juga dengan Obi, Azmi dan Puguh. Berkali kali mereka tiarap
mencium tanah. Terjungkir dan tersungkur. Tapi ini membuat kami semakin
menggila saja. Kami terus berlari. Bahkan menurutku, momen ter-seru ketika
mendaki adalah ketika turun gunung. Itu terasa sangat menggoncang ardenalin.
Tibalah kami di pos kedua sebelum pertama,
kami berseru senang, sekarang pukul lima sore. Aku baru menyadari ternyata
kamera yang aku ikat di leher telah raib. Aku bersorak panik, kemudian melepas
carrier dan berlari memutar arah, aku berlari menggila sampai tengah gunung
mengacuhkan seruan rekan rekan dibelakang, karena aku tak ingin kehilangan
gambar gambar kami yang sudah hampir ratusan jumlahnya. Setiap bertemu pendaki
lain aku bertanya tanya, berharap ada yang melihat kamera Kodak seri E, tapi
semua nihil. Aku belum mau menyerah, aku mencoba menyisir semak semak, rumput
rumput tapi tak juga aku melihatnya. Hari mulai gelap. Aku sendiri ditengah
hutan lebat sekarang, tanpa senter tanpa rekan. Aku menyerah, aku berniat
kembali menuruni gunung, pasti rekan rekan kecewa pikir ku...
Ternyata azmi menyusulku, benar benar super
hero hahaha. Kemudian dia membantu pencarian sampai hari benar benar gelap.
Namun semua tetap sia sia.
* * * * *
“ini si pikmus sama
azmi mana” tanya Puguh
“ga tau tuh lama
banget nyari kamera, ketemu gak ya”jawab Obi pasrah
“eh ini udah magrib
dodol, mereka gak bawa senter, bisa mampus mereka”
“aduh toloool,
yaudah, lima menit mereka ga dateng kita susul. Guh, siapin golok sama senter.
Jam segini hewan liar pada keluar” sahut Obi tegas.
Dan benar saja, lima menit berlalu tapi
kami belum kunjung tiba, kami masih diperjalanan, terjebak oleh kegelapan. Aku
mulai merasa panik, begitupun azmi. Hari benar benar gelap gulita.
Beruntung, sebelum kami duduk pasrah,
sebelum kami benar benar menyerah, sebelum kami berniat untuk bermalam di sini,
Obi dan Puguh datang membawa senter, dengan siaga penuh mereka langsung
menghampiri dan berseru panik
“udah, kamera mah
gak penting, yang penting sekarang kita balik dan elu selamat” tegas Obi.
Kemudian kami mengenggam erat senter yang
mulai meredup dan kemudian berlari meninggalkan hutan lebat, melompati pohon
tumbang, mencengkram erat akar akar pohon dan menerobos semak semak.. Dan
tibalah di pos terahir, memasuki perumahan warga.
Kami beristirahat di Warung kecil, tak ada
pembicraan, saya tau pasti rekan rekan kecewa karena
saya telah
menghilangklan kamera itu. Saya harus mengganti kamera itu, lumayan...Satu juta
cukup mahal untuk kantong pelajar seperti saya. Tapi kemudian rekan rekan
bersedia membantu, satu juta dibagi empat. Benar benar rekan yang baik, saya
merasakan betapa indahnya ukhuwah yang kokoh seperti ini…
Dan untungnya lagi, Azmi memiliki sedikit
gambar di ponselnya. Dan ini menjadi satu satunya kenangan yang kami miliki,
menjadi satu satunya bukti bahwa kita telah menaklukan Slamet.Azmi semakin
terlihat hero saja hahahaha
“Malem ini kita
nginep dimana nih ?” tanya Azmi sambil tertawa
“hahaha tadi gua
dah sms Luthfi, dia mau jemput kita disini” timpal puguh riang.
“yess”.
“yeaaaah, emang
terbaik lu guh” sahutku dan Obi.
Luthfi adalah salah satu rekan kami yang
tinggal di daerah Banjarnegara, cukup jauh memang dari pos pendakian.
Tapi dia berbaik
hati menjemput kami…
Keesokan harinya setelah berpamitan dengan
keluarga Luthfi kami langsung pulang,
Menaiki bis yang
sama dan jalan yang sama. Karena lagi lagi kami tak kedapatan kereta.
Sepanjang perjalanan
pulang kami habiskan dengan tertawa dan kemudian tertidur hingga akhirnya kami
tiba di pondok tercinta, Husnul khotimah.
Mendaki memang
menjadi hoby favorit kami..
* * * * *
Azmi, Puguh dan Obi…kalian
adalah pendaki yang hebat.
Kapan kapan kita
sisir Gunung gunung di Tanah Air..
Sampai jumpa di
puncak kesuksesan selanjutnya, salam hangat dari negeri Piramid
Dan selamat hari
Raya Kurban :)))
Bibir Kawah |